gambar ihsan anea.
Tatkala pesawat terbang melayang,
Meninggalkan pulau-pulau lain suku, lain bahasa, lain adat, lain budaya,
Tapi ternaung di bawah satu rukun Pancasila.
Tatkala aku melambai Marapi di kanan, Singgalang di kiri.
Masih teringat…
Sambutan terhebat muda-mudi negeri ini,
Terasa seperti lagaknya orang besar singgah di jajahan,
Langsung tersaudara kerana serumpun, seakidah pula.
Dengan ucapan-ucapan tersohor,
Mungkinkah pengganti Pak Bambang?
Menggetar jiwa Melayu ini yang begitu lama diam.
Nasi Padang, Ketupek Gulei, enak, pedas tak tertolak,
Berkampung di bilik kecil bawah gedung mengharap siap,
Jam terhitung, nantikan detik Si Marapi ditawan.
Masih terkagum…
Ceritera Salim mengkhabar angkatan mahasiswanya,
Menuntut tegaknya demokrasi di Pulau Jawa,
Tentulah untuk menumpas Orde Baru Soeharto saat dia berkuasa,
Itulah antara kisah-kisahnya yang teragung.
Betapa gigih rajinnya memerah keringat dan mahsul,
Di petak-petak padi, mencari sesuap nasi,
Begitulah orang sini meraih rezeki curahan Ilahi,
Suasanana umpama suatu ketika di tanah sendiri,
Cerita-cerita ayahanda bonda mengubah takdir bangsa dan pertiwi.
Alangkah ayu jelita, lunak merdu suara Audra,
Penghibur lara kala malam sepi,
Telah Bang Tarmidzi kirimkan Edelweiss dari taman di puncak Marapi,
Bunga mekar nan abadi, tanda cinta kekal di hati,
Oh, cintanya tertinggal di Indonesia.
Budi pria-prianya pada wanita, mendahulukan mereka,
Tiadalah rasa enak pada membiarkan gadis berlelah,
Agaknya taat wasiat Tok Perpatih, mengangkat martabat kaum Hawa.
Masih terasa..
Dunia berputar ligat, loya pangkal suara,
bergelodak isi perut juga hati,
Angkara bas sederhana, berlari-lari di jalanan daif,
Mengelak malang dan kerawanan,
Untung nakhodanya jagoan.
Dingin angin daerah tinggi menyapa pipi mencengkam isi,
Tika bertatih di pinggang Si Marapi, menghela nafas pendek-pendek,
Mengumpul kudrat tersimpan, menuju tingkat teratas perjalanan.
Seram malam gelap dipercantik bintang berselerak,
Ada yang di langit, ada yang di bumi,
Bila fajar mengintai di sisi Marapi,
Baru ku sedar, aku tidur di atas awan!
Masih terbayang…
Saat dinihari mendaki batuan-batuan mencabar,
Pada awan putih searas mata yang memandang,
Melihat lakaran-lakaran alam dari tanah tertinggi terpacukah iman?
Ucaplah, maha suci Tuhan yang menciptakan.
Singgalang yang diperkukuh,
Pasti musnah dek takutkan ayat-ayat-Nya,
Ketahuilah betapa keras hati insan, lebih dari binaannya,
Jika tak tergerak walau serasa, walau seniat,
Bila kalimah-Nya diajarkan.
Tugu Abel bersemadi di puncak, lambang cinta berbakti,
Mempertaruh nyawa, mempertahan cinta,
Biar nyawa hancur, tapi jasad tak lebur,
Dari ganas mangkuk berapi.
Dari Maninjau, lautan tawar di celahan banjaran,
Tempat bersiram usai dari kemenangan,
Terkeliling dari padang-padang hijau, terus bersungguh ke bandar Jam Gadang,
Harganya cuma 44 Kelok pening dan tebing-tebing gayat.
Rintik-rintik hujan waktu di tebing Ngarai Sihanouk,
Teresak-esak menangisi kewujudan Lubang Jepang yang ngeri,
Bukti pembantaian umat Nusantara,
Waktu negeri ini bawah Bendera Matahari.
Keluang berterbangan menghias langit senja di Bukit Tinggi,
Ramah mesra sanak Uni Azkey,
Kisah-kisah mistik tersembunyi Si Marapi dari Hanaffi,
Pasar Atas menghitung rugi, akibat mereka yang handal menagih simpati waktu beli,
Tidak dilupa, langkah-langkah penuh syahdu,
Meniti tangga Ramayana malam tadi.
Namun,
Pesawat terbang ini sedang menuju angkasa nusa tercinta.
Sayu tinggalkan negeri Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah,
Bersamanya impian mandi di Telaga Dewi suatu masa nanti,
Dan ingatan-ingatan tersegar selama hayat di badan,
Yang aku lalui dengan kamu, pasti.
gambar ihsan gg.
Siap 11.08 malam
Sajak ini dinukilkan khas untuk teman-teman seekspedisi Padang 2009. Terutama Don, Mieda, GG, Aida, Anea, Mady, Judin, dan semua komiti.
p/s
nak bersajak-sajak plak aku ni kan? sukehati aku la.. blog umah aku.. hahaha..